Aktivis 98 Tolak Pilkada Lewat DPRD

2 hours ago 3

DUA orang aktivis 1998, Ubedillah Badrun dan Ray Rangkuti, menolak agenda pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang digulirkan oleh sejumlah elite partai politik. Keduanya menyesalkan sikap sejumlah partai politik yang hendak mengembalikan pilkada tidak langsung itu di saat pemulihan bencana Sumatera masih berlangsung.

Partai-partaii yang pro-pilkada tak langsung itu di antaranya Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional. Elite keempat partai politik ini berkumpul di rumah rumah Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia di Jakarta yang diduga membahas agenda pilkada lewat DPRD, pada Ahad, 28 Desember 2025.

Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca

Ubedilah mengatakan elite partai koalisi pendukung pemerintahan Prabowo Subianto itu secara terbuka sudah menyatakan keinginannya untuk mengembalikan sistem pilkada tak langsung. “Keempat partai ini menguasai 310 kursi dari total 580 kursi DPR. Artinya, itu sudah mencapai 53,44 persen,” kata Ubedillah lewat keterangan tertulis, pada Selasa, 30 Desember 2025.

Dosen Universitas Negeri Jakarta ini mengingatkan bahwa sistem pilkada langsung merupakan hasil dari reformasi 1998. Perubahan sistem pilkada dari tidak langsung menjadi langsung setelah reformasi 1998 itu menandakan berakhirnya rezim pemerintahan Orde Baru yang sentralistik dan koruptif.

Selain itu, kata dia, pilkada langsung juga merupakan perwujudan dari tegaknya kedaulatan rakyat yang diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. “Karena itu, mencabut pilkada langsung bukan saja menghilangkan tanda sistem politik reformasi, tapi juga jelas-jelas bertentangan dengan politik konstitusi,” kata Ubedilah.

Ia menegaskan, norma pelaksanaan pilkada secara langsung sudah diperkuat dengan beberapa putusan Mahkamah Konstitusi. Salah satunya adalah putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisakan pemilihan serentak nasional dan pemilihan serentak lokal. Pemilihan nasional meliputi pemilihan presiden serta pemilihan anggota DPR dan Dewan Perwakilan Daerah. Sedangkan pemilihan lokal meliputi pemilihan anggota DPRD dan pemilihan kepala daerah. Pemilihan secara bersamaan ini menegaskan pelaksanaan pilkada secara langsung. 

Ubedillah mengkritik dalih elite partai politik pendukung pilkada lewat DPRD yang menilai pilkada langsung berbiaya mahal. Ia berpendapat, tidak ada ukuran pasti untuk menetapkan pesta demokrasi berbiaya mahal maupun murah. Apalagi jika kegiatan demokrasi itu merupakan bentuk implementasi kedaulatan rakyat.

Ia melihat biaya politik dalam pilkada justru berasal dari praktik politik uang. Ubedillah pun menilai partai politik tidak bertanggung jawab karena melimpahkan dampak politik uang kepada masyarakat. “Partai politik yang tidak disiplin mengapa rakyat yang dihukum? Parpol yang berulah, mengapa hak rakyat yang dicabut?” kata dia.

Menurut Ubedilah, elite partai politik seharusnya mengingat bahwa rakyat Indonesia sudah berulang kali menolak rencana menghidupkan kembali pilkada lewat DPRD. Penolakan itu berlangsung sejak DPR mengesahkan Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota pada 2014 yang menghapus pilkada langsung yang sudah berlangsung selama satu dekade. Karena desakan masyarakat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan dua peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk membatalkan undang-undang tersebut.

Ubedillah pun mengingatkan partai politik agar menjadikan gelombang demonstrasi Agustus 2025 sebagai pengalaman berharga sehingga mereka berhenti mengabaikan suara rakyat.

Agenda menghidupkan kembali pilkada tak langsung sudah berulangkali diungkapkan Partai Golkar di saat perayaan ulang tahun partai itu pada 2024 dan 2025. Hasil rapat pimpinan nasional Partai Golkar pada 20 Desember 2025 memutuskan agar partai warisan Orde Baru ini mendukung pilkada lewat DPRD. Partai Golkar akan mengusulkan agenda itu dalam pembahasan paket Undang-Undang Pemilu, pada 2026. 

Sikap Partai Golkar ini mendapat dukungan partai politik pendukung pemerintahan Prabowo seperti PKB dan PAN. Mereka beralasan biaya politik pilkada langsung sangat mahal. 

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kodifikasi Undang-Undang Pemilu menentang pernyataan tersebut. Koalisi menilai alasan tersebut keliru. Perwakilan koalisi, Usep Hasan Sadikin, mengatakan salah satu faktor yang menyebabkan ongkos politik semakin mahal adalah biaya kandidasi yang tinggi, seperti mahar politik dan politik uang, serta proses pencalonan kepala daerah yang tidak akuntabel dan transparan. 

"Mengembalikan pilkada dipilih DPRD sama saja dengan melanggengkan nepotisme dan melahirkan otoritarianisme baru," kata Usep.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ini mengusulkan agar DPR dan pemerintah fokus memperbaiki tata aturan kepemiluan untuk menjawab persoalan politik uang dan mahalnya biaya politik itu. Misalnya, memperkuat pengaturan dana kampanye, meningkatkan efektivitas penegakan hukum, memperbaiki sistem audit, memperkuat transparansi pendanaan politik, dan mendorong pelembagaan partai politik yang lebih demokratis. 

"Pilkada dipilih DPRD bertentangan dengan prinsip konstitusional, mereduksi kedaulatan rakyat, dan membuka ruang transaksi politik yang lebih gelap di balik pintu tertutup DPRD," katanya.

Andi Adam Faturahman berkontribusi dalam tulisan ini 

Pilihan Editor: Manuver Terbaru Golkar Memuluskan Pilkada Tak Langsung

Read Entire Article