Begini Usul PKS soal Wacana Pilkada Lewat DPRD

2 hours ago 1

KETUA Majelis Pertimbangan Pusat Partai Keadilan Sejahtera atau MPP PKS Mulyanto mengatakan partainya masih mempelajari dampak baik dan buruk mengenai wacana pilkada lewat DPRD atau pilkada tidak langsung.

Mulyanto menuturkan, perubahan mekanisme tersebut perlu kajian mendalam dan komprehensif karena merupakan isu yang cenderung sensitif. Kendati begitu, PKS memiliki usul guna menjalankan mekanisme pilkada yang demokratis.

Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca

"Meski kurang akomodatif, pemilihan gubernur oleh DPRD rasional dan lebih hemat APBN," kata Mulyanto dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Selasa, 30 Januari 2025.

Dia menjelaskan, gubernur memiliki peran yang strategis sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, sehingga legitumasi representasi melalui DPRD dapat meningkatkan efektivitas koordinasi dan stabilitas pemerintahan. Namun, kata dia, mekanisme pemilihan gubernur oleh DPRD wajib dilangsungkan terbuka dan transparan, termasuk saat dilakuka proses voting, serta dijalankan dengan komitmen tegas terhadap transaksi politik tertutup.

Kemudian, kata Mulyanto, untuk pemilihan bupati atau wali kota, PKS mengusulkan agar mekanisme pemilihan tetap dilakukan langsung oleh rakyat. Pertimbangannya, bupati dan wali kota adalah pemimpin terdekat dengan pelayanan publik.

"Pemilihan langsung memberi ruang kontrol rakyat yang lebih kuat dan menjaga akuntabilitas," ujar Mulyanto.

Ia memahami, perdebatan ihwal wacana mengembalikan mekanisme pilkada oleh DPRD memang tak dapat terhindarkan. Namum, kata Mulyanto, penting diketahui jika konstitusi tak melarang soal penerapan kembali mekanisme ini.

Melalui Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, kata Mulyanto, gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis tanla mensyaratkan harus secara langsung atau melalui DPRD. "Dengan demikian, negara memiliki ruang untuk menghadirkan model yang lebih tepat bagi kebutuhan nasional saat ini," kata Mulyanto.

Usul menggulirkan kembali pilkada dipilih DPRD disampaikan Partai Golkar usai menggelar rapat pimpinan nasional, Sabtu, 20 Desember lalu. Partai berlambang pohon beringin ini beralasan pilkada langsung berdampak pada kian mahalnya ongkos politik.

Usul Partai Golkar kemudian diikuti oleh partai politik pendukung pemerintahan Prabowo lainnya. PKB dan PAN misalnya, menilai usul tersebut tak melanggar konstitusi dan dapat mencegah mahalnya ongkos politik bagi kepala daerah yang bakal berlaga.

Usul partai tersebyt tak sejalan dengan pendapat para akademikus. Mereka menyoroti usul mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Alasannya, usul tersebut tak lagi relevan untuk dilakukan pada kontestasi mendatang.

Dosen Ilmu Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan usul pilkada dipilih DPRD sebetulnya sudah "tutup buku" manakala Mahkamah Konstitusi menerbitkan putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024. "DPR dan pemerintah semestinya tidak mewacanakan kebijakan yang berpotensi memunculkan kontroversi baru," kata Titi.

Dia menjelaskan, putusan Mahkamah Nomor 135 telah tegas menyebutkan jika pemungutan suara untuk kepala daerah di seluruh tingkat digelar secara bersamaan dengan pemilihan anggota DPRD. Apalagi, kata dia, jika merujuk konsekuensi putusan tersebut, Mahkamah juga telah gamblang memerintahkan bahwa pilkada dipilih oleh rakyat alias dijalankan dengan sistem secara langsung.

Dosen Ilmu Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Charles Simabura menilai menguatnya diskursus pilkada dipilih DPRD di parlemen kental akan aroma mengakali putusan Mahkamah. Menurut dia, DPR seperti aji mumpung dengan memanfaatkan tafsir putusan Mahkamah pada perkara 135 yang memerintahkan penyelenggaraan pemilu dihelat secara sederhana dan efisien untuk menggoalkan usul pilkada dipilih DPRD. "Ini adalah suatu kemunduran, bukan evaluasi dengan tujuan memperbaiki," kata Charles.

Read Entire Article